Djuandabanyak menghabiskan masa mudanya dengan aktif mengikuti organisasi non politik, yaitu Paguyuban Pasundan dan Muhammadiyah. Hal tersebut juga berarti bahwa kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Perdana Menteri ke-10 Indonesia dan Pencetus Deklarasi Djuanda. #Profil #Djuanda Kartawijaya Berikutpenjelasan terkait politik bebas aktif, dasar pelaksanaan, dan peranan dari politik luar negeri Indonesia. Selasa, 7 Desember 2021 17:03 WIB Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto Dilansirdari Ensiklopedia, Pencetus politik luar negri bebas aktif adalahpencetus politik luar negri bebas aktif adalah Mohamad Hatta. Penjelasan. Kenapa jawabanya bukan A. Ir. Sukarno? Nah ini nih masalahnya, setelah saya tadi mencari informasi, ternyata jawaban ini lebih tepat untuk pertanyaan yang lain. DownloadFree Pencetus Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif Adalah This present cannot be combined with almost every other offer you. Digital information and companies may well only be accessible to consumers situated in the U.S. and they are subject matter towards the stipulations of Amazon Electronic Services LLC. Provide restricted to 1 for each purchaser and account. Amazon reserves Dịch Vụ Hỗ Trợ Vay Tiền Nhanh 1s. Home PKn Pencetus ide politik luar negeri Indonesia bebas dan aktif adalah ........A. SoekarnoB. SoehartoC. Ali SastroamijoyoD. Mohammad HattaPEMBAHASANPolitik luar negeri bebas aktif diusulkan oleh Drs. Mohammad Hatta. Konsep tersebut digagas oleh Mohamad Hatta pada 2 September 1948, yaitu saat menyampaikan pidato di Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP. Sikap tersebut dimaksudkan agar Indonesia tidak menjadi korban dari ketegangan internasional, khususnya pada masa itu antara Blok barat dan Blok Timur. Jawaban yang tepat adalah D. Mohammad Hatta Artikel ini akan membahas mengenai sejarah politik luar negeri, lahirnya politik luar negeri bebas aktif, politik luar negeri bebas aktif, politik luar negeri, sejarah politik luar negeri bebas aktif, politik luar negeri indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki rumusan yang jelas mengenai bentuk politik luar negerinya. Sejarah Politik Luar Negeri Indonesia Akan tetapi pada masa tersebut politik luar negeri Indonesia sudah memiliki landasan operasional yang jelas, yaitu hanya mengonsentrasikan diri pada tiga sasaran utama yaitu; Memperoleh pengakuan internasional terhadap kemerdekaan RI, Mempertahankan kemerdekaan RI dari segala usaha Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia, Mengusahakan serangkaian diplomasi untuk penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda melalui negosiasi dan akomodasi kepentingan, dengan menggunakan bantuan negara ketiga dalam bentuk good offices ataupun mediasi dan juga menggunakan jalur Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB. Sesuai dengan sasaran utama kebijakan politik luar negeri sebagaimana disebut di atas, maka Indonesia harus berusaha memperkuat kekuatan diplomasinya dengan menarik simpati negara-negara lain. Dalam perang dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika Barat dengan Blok Uni Soviet Timur pada masa awal berdirinya negara Indonesia, Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok yang ada. Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di New Delhi pada tanggal 23 Maret–2 April 1947. Dalam pidatonya tersebut, Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia, yang hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara damai antar bangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia. Dengan demikian di dalam perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memecah belah persatuan, sikap tidak memihak adalah sikap yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian dunia atau paling tidak meredakan perang dingin tersebut. Keinginan Indonesia pada awal kemerdekaannya untuk tidak memihak dalam perang dingin tersebut selain untuk meredakan ketegangan yang ada juga dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Indonesia saat itu, yaitu mencari dukungan dunia Internasional terhadap perjuangan kemerdekaannya. Oleh karena itu, keterikatan pada salah satu kubu blok yang ada belum tentu akan mendatangkan keuntungan bagi perjuangan kemerdekaannya. Karena pada waktu itu negara-negara dari Blok Barat Amerika masih ragu-ragu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat. Di lain pihak, para pemimpin Indonesia saat itu juga masih ragu-ragu dan belum dapat memastikan apa tujuan sebenarnya dari dukungan-dukungan yang diberikan negara Blok Timur terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum PBB. Selain itu, Indonesia pada saat itu disibukkan oleh usaha mendapatkan pengakuan atas kedaulatannya, sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada masalah tersebut. Secara resmi politik luar negeri Indonesia baru mendapatkan bentuknya pada saat Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan keterangannya kepada BP KNIP Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat mengenai kedudukan politik Indonesia pada bulan September 1948, pada saat itu Hatta mengatakan bahwa “………tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika. Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintahan berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik Internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” Sumber Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004 Dari pernyataan Mohammad Hatta tersebut jelas terlihat bahwa Indonesia berkeinginan untuk tidak memihak salah satu blok yang ada pada saat itu. Bahkan bercita-cita untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi atau minimal meredakan perang dingin yang ada dengan cara bersahabat dengan semua negara baik di Blok Barat maupun di Blok Timur, karena hanya dengan cara demikian cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dapat dicapai. Tetapi walaupun Indonesia memilih untuk tidak memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu tidak berarti Indonesia berniat untuk menciptakan blok baru. Karena itu menurut Hatta, Indonesia juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu. Sikap yang demikian inilah yang kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam menjalankan politik luar negerinya Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut dengan cara “bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar saling menghargai. Sejak Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendayung Antara Dua Karang” di depan Sidang BP KNIP pada bulan September 1948, Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu Blok negara-negara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional Pembukaan UUD 1945. Politik luar negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan negara-negara asing atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang diarahakan untuk tercapainya tujuan nasional bangsa. Politik luar negeri bebas aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ini juga disesuaikan dengan kepentingan dalam negeri serta konstelasi politik internasional pada saat itu. - Sepanjang tahun 1950 hingga 1959, sistem demokrasi liberal berlaku di Indonesia. Pada masa ini pula, pemilihan umum pemilu pertama digelar di tanah air yakni pada masa tersebut, pemerintahan di Republik Indonesia dijalankan dengan sistem parlementer. Sistem ini menempatkan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan yang memimpin kabinet berisi para menteri. Adapun presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Dalam menjalankan pemerintahannya, perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Ciri khas sistem ini adalah kuatnya pengaruh parlemen yang jadi representasi dari partai dan golongan. Maka itu, masa ini kerap disebut demokrasi parlementer. Di masa Demokrasi Parlementer, muncul banyak partai politik yang bebas berpendapat dan saling kuatnya pengaruh parlemen menyebabkan pemerintahan di Indonesia tidak stabil. Kabinet pemerintahan sering berganti, bergantung pada ke arah mana mayoritas suara anggota masa demokrasi liberal berlangsung dari tahun 1950-1959, tercatat 7 kabinet pemerintahan pernah aktif. Kabinet-kabinet itu diberi nama sesuai dengan nama perdana menteri yang kabinet pada masa demokrasi liberal di Indonesia adalah Kabinet Natsir September 1950-Maret 1951 Kabinet Sukiman April 1951-Februari 1952 Kabinet Wilopo April 1952-Juni 1953 Kabinet Ali Sastroamidjojo I Juli 1953-Juli 1955 Kabinet Burhanuddin Harahap Agustus 1955- Maret 1956 Kabinet Ali Sastoamidjojo II Maret 1956-Maret 1957 Kabinet Djuanda Maret 1957-Juli 1959 Ketika kabinet berganti dengan sosok perdana menteri berbeda, berubah pula orientasi kebijakan pemerintah Indonesia di dalam maupun luar negeri. Kebijakan akan mengikuti arah ideologi partai politik yang perwakilannya mendominasi kabinet, terutama kursi perdana menteri. Dinamika tersebut turut memengaruhi arah kebijakan politik luar negeri pemerintah Indonesia. Di tahun 1950-1959, beberapa kali terjadi pergeseran arah kebijakan politik luar negeri, meski tetap dalam koridor prinsip "bebas-aktif." Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Liberal Pada masa awal kemerdekaan Indonesia hingga sistem demokrasi liberal demokrasi parlementer diberlakukan, kebijakan politik luar negeri RI tetap menganut prinsip bebas aktif. Prinsip bebas aktif berarti Indonesia secara bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional, dengan tanpa mengikatkan diri secara apriori kepada kekuatan dunia mana dari Modul Sejarah Indonesia Menjalin Persahabatan Dunia terbitan Kemdikbudristek RI 2021, pencetus prinsip politik luar negeri bebas aktif adalah Mohammad Hatta. Wakil Presiden RI pertama tersebut mengajukan gagasan tentang prinsip bebas-aktif pada menguraikan gagasannya itu di pidato berjudul "Mendayung di Antara Dua Karang" ketika ia menghadiri sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BP-KNIP, 2 September 1948. Gagasan Hatta sesuai dengan kondisi Republik Indonesia sebagai negara yang baru merdeka serta sedang menghadapi tantangan di internal maupun eksternal. Pada 1948, RI sedang terancam oleh aksi militer Belanda yang hendak berkuasa kembali. Pada saat yang sama, RI belum mendapatkan pengakuan secara luas dari dunia internasional sebagai negara merdeka. Baca juga Politik Luar Negeri Jokowi Memperluas Pasar, Angkat Citra Islam Tujuan Politik Luar Negeri Indonesia dan Landasan Pelaksanaannya Sementara itu, ketika dunia memasuki dekade tahun 1950-an, kancah politik internasional sedang terbelah. Indonesia harus menghadapi kenyataan adanya persaingan keras antara blok timur yang dipimpin Uni Soviet dengan blok barat yang dikomandoi Amerika Serikat. Perseteruan kubu komunis versus liberal yang menjadi awal terjadinya Perang Dingin itu membawa pengaruh pula pada politik luar negeri Indonesia. Saat kabinet beberapa kali silih-berganti selama 1950-1959, implementasi prinsip bebas-aktif pun tidak selalu seirama. Pada periode demokrasi liberal, arah kebijakan politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh dua aspek, yakni situasi dalam negeri dan internasional. Hanya saja, prinsip bebas-aktif tetap Indonesia tetap menjalin persahabatan dengan negara-negara Blok Barat maupun Blok Timur. Namun, ada kecondongan berbeda dari tiap kabinet. Di masa pemerintahan Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, kebijakan politik luar negeri Indonesia dipengarui oleh Partai Masyumi. Akibatnya, meski Indonesia tetap berada di posisi non-blok, arah kebijakan luar negeri condong ke Blok pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo periode I dan 2, arah kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih bernuansa anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Hal ini tidak terlepas dari relasi dekat antara Ali Sastroamidjodjo dengan Presiden Soekarno yang sama-sama nasionalis. Ali adalah politikus PNI, partai yang didirikan oleh Bung Karno. Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Indonesia bahkan menjadi penggagas serta penyelenggara Konferensi Asia-Afrika pada 1954. Konferensi ini menegaskan sikap negara-negara di Asia dan Afrika yang menolak imperialisme Uni Soviet maupun negara-negara barat. Memasuki tahun 1957, politik Indonesia dipengaruhi oleh persaingan antara kubu PKI dan militer. Setelah Pemilu 1955, pengaruh Partai Komunis Indonesia berkembang pesat di parlemen maupun politik nasional. Situasi ini membuat kubu militer gusar sehingga turut memperkuat pengaruhnya di yang lebih gawat, muncul pemberontakan di daerah, terutama PRRI/Permesta. Pada tahun 1957 pula, Bung Karno menyatakan negara dalam situasi bahaya dan mengambil keputusan untuk membentuk kabinet tanpa melibatkan parlemen. Maka itu, ditunjuklah Ir Djuanda yang tak memiliki afiliasi dengan partai sebagai perdana menteri. Sebagai kabinet "ekstra parlementer," Kabinet Djuanda punya kebijakan yang selaras dengan visi Bung Karno. Kabinet Djuanda yang mempunyai nama resmi Kabinet Karya kerap dijuluki sebagai zaken kabinet. Sebab, kabinet tersebut berisi banyak ahli dari berbagai bidang. Arah kebijakan politik luar negeri Kabinet Djuanda pun sebenarnya lebih kongkret daripada pemerintahan sebelumnya. Salah satu gebrakannya adalah penerbitan Deklarasi Djuanda yang menegaskan RI sebagai negara kepulauan dan memiliki kedaulatan atas daratan pulau beserta lautnya. Mengutip ulasan di Jurnal Socia terbitan UNY Vol 10, 2013, Kebijakan Kabinet Djuanda tersebut sering kali disebut sebagai program dekolonisasi hukum. Arah kebijakan politik luar negeri ini jelas mengukuhkan kedaulatan Republik Indonesia di mata Djuanda menghapus sederet peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda soal batas laut. Prinsip-prinsipnya tentang batas laut Indonesia konsisten disuarakan oleh perwakilan RI di PBB selama bertahun-tahun, bahkan setelah Soekarno lengser digantikan Djuanda semula memang menuai kontroversi di dunia internasional karena ia mengubah cara pandang lama bahwa laut bisa menjadi milik bersama semua negara. Namun, berkat deklarasi ini, luas wilayah RI bertambah 2,5 kali lipat karena memperluas batas laut jadi 13 mil ditarik lurus dari garis pangkal pulau. Baru pada tahun 1982, Deklarasi Juanda diterima masuk dalam Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS. - Pendidikan Kontributor Mohamad Ichsanudin AdnanPenulis Mohamad Ichsanudin AdnanEditor Addi M Idhom - Politik Luar Negeri adalah upaya pencapaian kepentingan-kepentingan nasional melalui kebijakan yang berhubungan dengan negara lain. Politik luar negeri yang diterapkan suatu negara dapat mencerminkan kondisi dalam negeri negara masa revolusi kemerdekaan Indonesia 1945-1949, Indonesia mempunyai prioritas kepentingan nasional untuk memperoleh kedaulatan secara penuh serta mendapatkan pengakuan dari dunia Internasional, khususnya Belanda. Oleh karena itu, politik luar negeri Indonesia diarahkan pada usaha-usaha untuk mencari simpati dan berhubungan baik dengan negara-negara maju serta negara dunia ketiga. Moh Hatta mencetuskan konsep politik luar negeri bebas aktif pada 2 September 1948 dalam kelompok kerja KNIP. Baca juga Kondisi Politik masa Orde Baru Dalam buku Politik Luar Negeri Indonesia dibawah Soeharto 1998 karya Leo Sryadinata, Hatta mengungkapkan bahwa Indonesia tidak perlu memilih untuk bersikap pro terhadap Amerika Serikat atau pro Uni Soviet. Dengan sikap tersebut, Indonesia tidak menjadi obyek perjuangan politik Internasional. Indonesia harus menjadi subyek yang memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Pengertian Politik Bebas Aktif Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 2005 karya Riclefs, politik bebas aktif adalah sikap Indonesia yang mempunyai jalan atau pendirian sendiri dalam menghadapi masalah internasional tanpa memihak pada blok Barat maupun blok Timur serta turut berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Atas dasar politik bebas aktif, Indonesia memposisikan dirinya sebagai subyek dalam pengambilan keputusan hubungan luar negeri dan tidak dapat dikendalikan oleh kepentingan politik negara lain. Baca juga Dinamika Politik Partai masa Demokrasi Liberal

pencetus politik bebas aktif